Aku Ingin Mati dalam Sujud kepada-Mu

Gambar

Sumber foto : www.islam44.net 

 

Kaum Yahudi, pada perang dunia kedua, digenosida dan menjemput mati akibat kelaparan juga kedinginan. 

Masyarakat Jepang, menghela kematian akibat dijatuhi bom atom.

Di Bosnia sana, anak-anak kelaparan hingga mati dalam pelukan. 

Di Palestina, dengan gagah berani mereka mengantar kematian dengan cita-cita dibayar syurga. 

Mati adalah suatu kepastian, entah hari ini atau esok tiba. entah lama atau sekejab saja, entah beruntung atau celaka. 

Maka di sini, aku ingin mati dalam sujud kepada-Mu, dalam getar lidah yang belum sempat kering merapalkan asma-Mu. 

Maka di sini, aku ingin mati dengan keringat yang belum sempat menetes demi menabur kebaikan hingga di ujung napasku. 

Maka di sini pula, aku ingin mewariskan sebait kebaikan agar ia senantiasa menjadi tabungan keridhaan-Mu, menjadi wewangi sampai aku pantas bersampingan dengan orang-orang sholeh, juga menjadi alasan ketika aku ditanyai di bibir jannah-Mu nanti lalu malaikat mempersilakanku untuk memasuki istana yang sehalaman dengan para syuhada. aamiiin ya Rabb. 

Inginku, akankah ia juga inginmu?

Gambar

sumber foto : archive.kaskus.co.id 

Aku ingin menulis semua kisahmu, tentang kemarinmu, harimu bahkan esokmu. Ingin kutulis semuanya, tentang sikap baikmu, tutur kata sopanmu, senyum tulusmu, canda ringanmu, juga perhatian kecilmu. Ingin kutulis semuanya, tidak dalam buku cacatanku, tapi di sini, di dalam hatiku. Tapi aku tidak tahu bagaimana menulisnya. Apakah dirimu berkenan mengajarkannya? Entahlah.  Atau mungkin penanya belum aku miliki. Apakah di sana dirimu menyimpannya? Entahlah.

Aku ingin melukis bintang, mewarnai pelangi, menggenggam awan, memeluk bumi. Katamu itu berlebihan? Begitulah inginku ketika dekat denganmu. Terkesan tidak mungkin memang. Sebagaimana jauhnya kenyataan harapanku untuk selalu bersamamu.

Ketika aku berpapasan denganmu, ingin rasa aku bertanya kabarmu. Tapi lidahku kelu mengucapkannya. Ketika mata kita beradu, ingin rasa itu terjadi barang 5 detik saja agar kekagumanku terobati. Tapi sedetik pun aku tak kuasa. Ketika kubaca tulisanmu, ingin rasanya namaku ada di sana. Walau sekadar catatan kaki, tak perlu di bagian isi. Ketika kulihat dari kejauhan engkau sedang berolah raga di lapangan, ingin sekali aku membawakan seteguk air dingin guna melegakan dahagamu. Tapi kau tak butuh itu, bukan tak butuh airnya, tapi akunya. Ketika engkau berjalan mendekatiku, degupan jantungku terdengar hingga telinga. Aku ingin engkau bertanya “apa kabarmu, sayang?” oh tidak, tidak. Aku bahkan tidak perlu kata ‘sayang’ itu, cukup tanyai aku kabar saja. Apakah dirimu tidak ada sedikit keinginan mengetahui kabarku? Kabar hatiku? Entahlah.

Andai saja aku boleh memilih, mungkin aku akan memilih untuk tidak mengenalimu sejak awal. Biarlah aku sibuk dengan tugas-tugas kuliahku, kerjaan organisasiku, hobiku, pekerjaan rumahku dan kesibukan lainnya. Tapi apa boleh buat, takdirlah yang mengantarkan hati ini mendarat di bilah-bilah hatimu, meski kau tak tahu. Terkadang, dalam sudutku, aku bingung memilih doa yang mana, antara doa agar Tuhan tidak pernah memberi tahumu dan membiarkanku memendamnya sendiri, atau berdoa agar Tuhan menyampaikannya melalui orang lain kepadamu. Tapi aku takut. Apa yang harus kutakutkan? Entahlah.

Terkadang aku ingin mengajakmu makan siang bersama, agar aku tahu malaikat itu makannya apa. Tapi aku tak kuasa menyampaikannya. Atau boleh jadi karena adanya samudra di antara kita hingga suara hatiku tak kau dengar juga. Baiklah, tidak mengapa. Aku hanya percaya bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan, pasti ada tangan lain yang akan menyambutnya. Boleh jadi  dirimu atau orang lain. Meski relung hatiku memohon semoga tangan itu adalah milikmu. Inilah inginku, akankah ia juga inginmu? Entahlah.

Joke: Sopirkulah yang Paling Bodoh

Terkisah dua orang pengusaha beken sedang bercakap-cakap di sebuah restoran. Bertanya kabar, keluarga, bisnis, dan apapun yang bisa mereka bicarakan. Hingga tiba pada sebuah percakapan.

Pengusaha 1: Aku mempunya sopir yang lelet.

Pengusaha 2 : Ah, sopirku pasti lebih parah. Aku tidak bisa  mengatainya lemah mental, sebab ia setia.

Pengusaha 1: Kalau begitu kita buktikan, ya. Sopir mana yang lebih bodoh. Pir, sini bentar.

Sopir 1  : Iya Tuan, ada apa?

Pengusaha 1 : Nih, belikan saya 1 unit mobil Avanza. (sembari menyerahkan 3 lembar uang 2 ribuan)

Sopir 1 : Baik, Tuan. Saya berangkat sekarang.

Kedua pengusaha itu lalu tertawa.

Pengusaha 2 : Itu belum seberapa. Nih aku panggil sopirku. Pir, sini cepetan!

Sopir 2  : Iya, ada apa Tuan?

Pengusaha 2 : Tolong balik ke rumah dan liat apa saya masih di sana atau sudah pergi.

Sopir 2 : Baik, Tuan. Saya berangkat sekarang.

Di parkiran, kedua sopir ini saling bertemu. Kemudian mereka saling mengeluhkan kekonyolan majikan mereka masing-masing.

Sopir 1 : Tau ngga, majikan gue goblok banget. Masa gue disuruh beli mobil pake uang 2 rebuan, seharusnya kan dia tau hari ini libur, toko-toko mobil pada tutup lah.

Sopir 2 : itu mah mending, majikan gw lebih parah. Masa gue disuruh balik cuma buat ngeliat dia ada di rumah apa ngga. Padahal kan dia punya telpon, kenapa g ditelpon aja.

Krik…krik…krik…

Teladan Kepemimpinan: Muhammad SAW dan Seorang Pemuda Nasrani

         Gambar

         sumber foto: yahadramaut.wordpress.com

 

           Wahai Junjungan Alam, setelah empat belas abad yang lalu engkau tinggalkan dunia yang fana ini, manusia masih saja menjejaki bait-bait perjalanan hidupmu. Ingatkah engkau, suatu ketika, seorang pemuda nasrani mendatangimu lalu berkata, “wahai Muhammad, aku berniat memeluk agamamu. Akan kuakui Tuhanmu adalah Tuhanku dan engkau adalah utusanNya.” Hatimu berbunga sembari meretas senyum.

           Pemuda itu melanjuti, “tapi wahai Muhammad, aku belum dapat meninggalkan kebiasaan burukku. Aku masih kecanduan arak, menggilai zina, dan masih memelihara tabiat kaumku yakni pendendam dan ringan tangan untuk membunuh. Akankah engkau tetap izinkan aku menjadi umatmu?” Pemuda itu was-was menunnggu lidahmu mengulur kata.

           Wahai Pemilik hati dan lidah yang selalu terjaga, sungguh jawabanmu merupakan jawaban terindah yang pernah kudengar. Kau tak melarang pemuda itu untuk merangkul agama mulia ini meskipun bingkai agama ini masih enggan ia kenakan. Mengecilkan harapannya pun tidak. Kami seakan mendengar ketika engkau membisiki pemuda itu agar ia menuruti satu syarat. Ya, hanya satu syarat, JUJUR. “hanya itu wahai Muhammad?” tanya si pemuda tak menyangka. Kembali kau mengangguk dengan secarik senyum.

                Tapi tahukah engkau wahai Insan Yang halus budinya, syarat itu telah menjadi segelas air di Padang Sahara. Sederhana tapi mengena. Secuil tapi tidak kecil. Tenang tapi selalu menjadi bumerang bagi si pemuda untuk melakukan tindak jahiliyah yang tak dapat ia buang. Kami mengerti mengapa itu terjadi.

               Tentu engkau jauh pikir wahai baginda Rasul. Suatu saat ketika engkau menjumpai pemuda tersebut, engkau akan dengan mudah menanyakan apakah ia masih mabuk-mabukan? Andai saja kejujurannya berkata “iya”, engkau akan menyiapkan algojo untuk menyambuknya. Ketika engkau bertanya apakah ia masih berzina? Jika syaratmu itu memaksa lidahnya mengaku “iya”, maka engkau akan manggali tanah untuk merajami pemuda itu.

             Benar nian keputusanmu, jujur telah menjerat hatinya dan membelenggu nafsunya untuk tidak melakukan kemaksiatan. Ia gentar menemuimu andai ia masih berlaku seperti dulu, sedang ilmu agama harus ia tuntut darimu. Maka, perlahan ia tinggalkan kebiasaan itu. Apakah engkau menyuruhnya melakukan itu? Tidak wahai teladan kami. Engkau hanya menyaratinya dengan JUJUR.

              Boleh jadi, seandainya engkau melarang pemuda itu mengambil jalan keselamatan bersamamu dan para sahabat hingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya, pemuda itu tidak akan pernah kembali lagi untuk memintamu mensyahadatinya.

                Wahai sebaik-baik pemimpin, bersama rindu kami yang mendalam kepadamu, sebuah harapan kami selipkan pula atas kerinduan kami pada pemimpin yang cerdas sepertimu, yang bertutur indah layaknya lidahmu, berbudi santun umpama hatimu, dan berperangai mulia hingga kami digiringnya mengikutimu menuju Firdaus. Amin ya Rabb.

Indonesiaku, Terima Kasihku

indonesia yang kubanggakan

sumber foto : www.fotocommunity.com

Sahabatku yang kucinta. Suatu saat, saya pernah bercakap-cakap dengan kakak kelas saya yang telah menyelesaikan studinya di Rusia. Kala itu saya banyak tanya mengenai negeri Tirai Besi tersebut. Setelah berbicara mulai dari ekonominya, teknologi, sistem pemerintah, sejarah, dan sebagainya, akhirnya senior saya ini berbisik pelan. “Kamu juga harus tahu wandra, orang-orang di sana cuek-cuek.” Saya hanya menunggu. Lanjutnya, “semakin dingin wilayahnya, semakin cueklah mereka.” Saya mulai mengintrogasi, “kok bisa?”. “Bukan cuma di Rusia, Wan. Di negara-negara Eropa juga begitu. Mereka tidak terlalu ramah dengan sesama terlebih turis asing. Juga memiliki kecenderungan yang hampir sama, semakin dingin suhu rata-ratanya, penduduknya kian menutup diri dan hanya mengurusi hal-hal yang penting saja.” Selidik saya, “kalau begitu, lebih nyaman di Indonesia dong, Kak?” Ia hanya menyungging senyum, “boleh jadi, boleh jadi.” Tutur lidahnya.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan seseorang sepulangnya dari Jepang dengan membawa gelar sarjananya. Ketika saya bertanya apakah dia lebih memilih hidup di Indonesia atau di Jepang, nyatanya dia memilih negeri pertiwi ini. “Mungkin saya cuma merindui teman-teman saya di sana, sama tempat-tempat wisatanya,” lirihnya. “Tapi kalau disuruh memilih lebih enak mana hidup di Indonesia atau di Jepang, jawabannya Indonesia.” Tidak cukup puas dengan pendapat kedua orang itu, guru saya yang pernah belajar di Perancis turut saya tanyai. Katanya, “ah, kalau bukan tuntutan belajar sih, mending di Indonesia saja.” Komentar yang singkat. Saya penasaran, “Alasannya?”. “Susah punya banyak teman di sana. Kalau ditanya, jawab seadanya. Bahkan di tingkat instansi pemerintah, kalau urusan kita nggak penting-penting amat, kita bisa dicuekin.” Boleh jadi tanggapan yang sama juga dirasakan oleh saudara-saudara kita yang sedang atau pernah menyicipi asam-garam negara yang lain.

Analisis sederhana saya, ada sebuah kecenderungan sifat penduduk suatu wilayah bergantung pada keadaan cuaca dan iklim di sana. Mengapa penduduk negara-negara eropa dan sejumlah negara yang beriklim dingin cenderung individualis dan tertutup? Mungkin karena suhu yang dingin membuat mereka harus berjalan atau bergerak lebih cepat agar suhu tubuh menghangat. Sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk bertegur sapa di jalan terlebih mengajaknya ngobrol berlama-lama. Keadaan ini juga yang membuat negara tersebut fokus mengurusi sesuatu yang dianggapnya penting sehingga terwujudlah keteraturan sistem dan kedisiplinan. Berbeda halnya dengan di Indonesia yang beriklim tropis. Bawaannya nyaman dan adem. Ketika ada yang bertanya A, kita bahkan sudi menjelaskan hingga Z. Jika di Negara dingin penduduknya enggan berada di tempat terbuka, maka penduduk indonesia malah sebaliknya. Semakin sering seseorang berada di alam terbuka dan menemui beragam manusia, semakin ramah dan terbuka pula dia. Akan tetapi, keadaan ini membuat penduduk Indonesia malas berurusan dengan sistem yang rumit hingga terbangunlah rasa toleransi yang tinggi. Seorang Bos akan dengan mudah memaafkan karyawannya yang terlambat hanya dengan alasan anaknya menangis saat ditinggalkan. Atau seorang dosen akan memaklumi ketika mendapati mahasiswanya terlambat karena semalam dia tidur kemalaman dan bangun kesiangan. Semudah itu? Iya, semudah itu maaf diberikan. Apakah hal serupa akan kita temui di Negara-negara dengan sistem disiplin yang tinggi tadi? Maaf kawan, bos dan dosen itu bisa katakan “ini bukan Indonesia”.

Sahabatku, jika engkau meyakini bahwa Allah itu Maha Adil, maka fenomena ini merupakan salah satunya. Boleh saja engkau menjelekkan Indonesia, bangsamu sendiri, tapi ketahuilah orang-orang di luar sana merindui bangsa seperti kita. Ingatkah kita pada tanggal 30 September 2013, sebuah surat kabar menuliskan Headline komentar miss world terpilih yang berasal dari Philipina yang mengakui secara terbuka bahwa Indonesia merupakan penduduk paling ramah di dunia. tidak terlalu jauh dari komentar miss world tersebut, Pak SBY, presiden kita, mendapat anugrah sebagai kepala sebuah Negara dengan tingkat toleransi paling tinggi di dunia. Bahkan, nenek moyang kita pun telah menggelari negeri ini dengan sebutan “gemah ripah loh jinawi”. Apakah kemudian kita tidak boleh mencemburui Negara lainnya? Tentu saja boleh. Namun, yang lebih berharga adalah kita mampu mensyukuri dan menghargai serta mencintai tanah tumpah darah kita ini, apa pun adanya.

Jangan pernah beranggapan bahwa Negara-negara maju itu sudah tidak memiliki masalah, boleh jadi masalah mereka lebih besar dari yang Allah berikan kepada Indonesia. Kita berhak saja kecewa atau membenci negeri ini karena kemacetan, banjir, polusi, penduduk miskin, kesehatan buruk, pendidikan tertinggal, atau wakil rakyat yang korupsi. Namun perlu sama-sama kita sadari bahwa di belahan bumi yang lain masalah yang dihadapi lebih beragam. Tidak ada satu bangsa pun yang tidak memiliki masalah, hanya saja ia dihadirkan dalam bentuk yang berbeda. Toh dengan berbagai masalah yang dihadapi Indonesia tidak membuat rakyatnya menjadi individualis layaknya di China, tidak pula egois seperti di Perancis, tidak juga mudah stress yang dialami penduduk Inggris, jauh dari penyakit obesitas yang kerap melanda Negara-neraga berpola makan cepat saji, dan jarang kita temui kasus bunuh diri mana yang di Amerika hal serupa telah menjadi biasa. Di sini, di negeri ini, kita masih dapat tersenyum saat pagi menyingsing, masih mudah menyapa meski banyak kerja, masih senang gembira ketika Senin tiba. Ringan tangan dalam membantu, berhati lapang kala berjibaku, hingga semuanya menjadi seru. Bukankah nikmat terindah itu ketika kita masih dapat mencintai dan dicintai oleh orang-orang yang ada di sisi? Terima kasih Tuhan, engkau telah anugerahkan Indonesia untukku, dialah tanah lahir, kecil besarku, makan laparku, haus dahagaku, tawa perihku, cinta getirku, napas matiku, dan hanya kepadaMu oh Tuhan segala syukur kualamatkan.

Seagung niat

Di dalam Islam, niat orang yang beriman lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada tindakannya. Namun sebaliknya, tindakannya orang yang munafik jauh lebih hina di sisi Allah dari pada niatnya. tulisan ini akan mengupas sedikit makna yang dikandungnya. 

Kita awali dengan sebuah kisah. Sebut saja namanya Ahmad, seorang mahasiswa rantau yang hidup dalam kesederhanaan. Suatu Jumat, ia sedang duduk di dalam masjid menunggu khatib menaiki mimbar. Kemudian terlintaslah di depannya kotak amal. Di dalam dompetnya terdapat lembaran 100rb, 50rb, 20rb, 10rb, 5rb dan 2rb. jadi total uang yang dimiliki Ahmad adalah 187rb. Jika Anda selaku Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan untuk dimasukkan ke dalam kotak amal tersebut? 

Hati Ahmad mulai berbisik, Ya Allah, hamba ingin sekali bersedekah sebanyak mungkin sebagai wujud syukur hamba atas rezekimu. Mengeluarkan lembar 100rb, lalu hamba masukkan ke dalam kotak amal ini. Tapi ya Allah, uang di dompet hamba ini adalah nominal yang akan menghidupi hamba selama 2 minggu ke depan. Hamba tidak memiliki uang lebih dari ini ya Allah. Maka, izinkan hamba untuk kali ini menarik lembar 5rb untuk hamba sedekahkan. Semoga tidak mengurangi keberkahan rezeki dariMu. Lalu Ahmad menyedekahkan lembar 5rb. Jika Anda sebagai Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan? 

Jika kita mengacu pada konteks niat, maka niatnya Ahmad(dalam hal ini kita menganggapnya sebagai orang yang beriman) itu lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada nilai sedekahnya. Bukan karena yang ia keluarkan lembar 5rb, bukan sama sekali. Tetapi karena niatnyalah yang lengantarkan bilah-bilah keridhaan. Niat Ahmad bersedekah 100rb, tetapi apa daya, kemampuan dia ketika itu belum memadai, lalu ia keluarkan 5rb, maka sungguh niatnya itu lebih mahal dari sedekah 100rb. 

Kasus sebaliknya, sebut saja namanya Bonar, seorang mahasiswa yang juga sebenarnya berasal dari daerah. Suatu hari ia pergi berkuliah. Sesampainya di kampus, dia bertemu dengan seorang mahasiswi yang selama ini ia kagumi. Mahasiswi ini menegurnya dan bonar pun salah tingkah. “Bonar mau kemana?” tanya akhwat ini. Karena Bonar ingin juga terlihat sholeh, beriman lagi baik hati, maka ia menjawab, “mau ke mushola, belum dhuha soalnya.” Tentu jawaban itu akan merenyuhkan hati siapapun, nenek-nenek juga akan kesemsem. Tapi apakah niat Bonar tulus karena Allah, tidak, ia menjawab itu semata-mata agar terlihat mulia bagi si akhwat. Nah, seandainya Bonar benar-benar ke mushola dan melakukan shalat dhuha, maka sholatnya itu lebih rendah derajatnya di sisi Allah dari pada niatnya. 

Wahai sahabatku yang dicintai Allah dan dirindui Rasulullah(aamiiin), perbaikilah niat sebelum engkau berangkat. Luruskan harapan sebelum engkau melangkah ke depan. Sebab, keagungan niat akan mengantarkan kita pada derajat yang lebih tinggi, sedangkan tercelanya niat akan menjatuhkan kita dalam kehinaan dan kenistaan. Di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” 

Amalah yang selama ini kita lakukan, akan menjadi buih yang hilang dihempas riak gelombang. Banyak memang, hingga peluh-peluh kita menetes dalam sujud kepada-Nya, tapi akan tak bernilai jika niat itu tidak tulus karena Allah. Terakhir, suatu ketika seorang pemuda menghadap Buya Hamka. Dengan menggebu-gebu pemuda ini berkata, “Wahai Buya, aku sungguh terkejut ketika aku berangkat ke Mekah. Ternyata, di sana itu ada juga tempat-tempat maksiat seperti perjudian, pelacuran dan klub-klub malam.” Pemuda ini belum selesai, “kenapa bisa begitu wahai Buya? Bagaimana mungkin di tanah kelahiran Kanjeng Rasul terdapat tempat-tempat semacam itu.” Lalu Buya Hamka angkat biacara, “Ah, yang benar saja? Saya baru saja pulang dari Los Angeles, tapi saya tidak menemukan tempat-tempat semacam itu?” “Ha? masa di Mekah ada tapi di Los Angeles tidak? Buya yang benar saja.” sambil tersenyum, Buya Hamka menjawab, “Anak muda, kita akan mendapatkan apa yang kita cari.” 

Apakah hati itu memilih atau dipilih?

 

Gambar

 

              Belakangan ini, aku merasa seakan ada Helium yang menyesaki setiap rongga tubuhku. Menarikku ke atas hingga menyentuh atap. Lalu helium itu meronta hingga tubuhku pecah menjadi butir-butir bunga yang bertaburan.

            Dialah yang pertama kali menanyakan “Apa kabarmu hari ini?” dalam seriap hari-hariku. Dialah yang pertama kali bertanya, “Apakah tugas kuliahmu sudah selesai?” ketika teman-temanku yang lain masa bodoh apakah aku sudah mengerjakannya atau belum. Dialah yang pertama kali berkata, “Jam berapa kautidur semalam? Apa kau tidak lelah? Nanti kau bisa jatuh sakit.” Dialah yang pertama kali berujar “Harusnya kau begini, jangan begitu’ dalam setiap khilafku. Dan dialah orang pertama yang akan menyiratkan “adakah yang ingin kauceritakan kepadaku? Di sini telingaku akan mendengar, di sini hatiku akan berbisik meski kautak mendengarnya.” Dialah orang yang pertama…

            Apakah itu yang kausebut ‘perhatian’? entahlah. Betapa sulit bagiku menafsirkannya. Namun, aku akan merasa senang dalam setiap perhatiannya. Ketika ia menanyakan kabar, bertanya kesibukan, bertanya apa yang akan kulakukan, meresahkanku, menasihatiku, atau sebatas melirikku lalu meretas seutas senyum. Aku juga akan merasa nyaman ketika mengobrol dengannya, bercerita kepadanya, termasuk mendengarkan cerita miliknya. Jika kami sedang berbalas pesan melalui WA, maka melihat tulisan “is typing” saja mata ini tak sabar menunggu kata demi kata yang akan muncul. Jika itu yang disebut perhatian, maka betapa bodohnya diriku yang tak mampu memaknainya lebih dari sekadar itu.

            Dialah orang yang menghiburku dikala hatiku gundah. Dialah orang yang meneguhkanku ketika hatiku bimbang. Dialah orang yang meneteramkan ketika hatiku gelisah. Dialah orang yang akan tersenyum meskipun leluconku hambar. Dialah orang yang akan meyakinkanku ketika yang lain ragu. Dan dialah yang akan mendengarkan keluhku meskipun keluhnya lebih besar dariku.

            Katanya, yang belakangan ini aku tahu, dia pernah menangis untukku, aku yakin bukan untuk, tapi karenaku. Jika benar begitu, semoga maafku kauterima. Dia pernah mengutip kata-kata yang kini aku lupa redaksinya, tapi intinya begini, wanita akan lebih memilih lelaki yang membuatnya menangis daripada lelaki yang berhasil membuatnya tertawa. Kala itu aku masih meraba-raba maksudnya. Namun kini aku telah membacanya.

            Seharusnya aku beruntung, ternyata ada orang yang menaruh perhatian padaku. Sekarang aku memahami ternyata tidak sekadar pertahian. Bukankah perhatian berasal dari kata dasar hati? Mungkin karena hati yang berbicara dan saling menyapa, timbullah perhatian. Semua yang memiliki hati pasti membutuhkan perhatian, bahkan seekor binatang sekalipun.

Seharusnya aku bahagia. Seharusnya. Ternyata ada wanita yang nyaris sempurna menaruh perhatian padaku. Tidak secuil, tidak juga sebagian, mungkin hampir sepenuhnya. Tetapi aku tidak tahu apakah ia akan tetap melakukannya hingga nanti, hingga semuanya pasti? Entahlah. Aku hanya dapat menaruh YAKIN kepada Allah, bahwa Dia tidak memilihkan yang baik untuk hamba-Nya, tetapi yang TERBAIK. Biarlah Dia yang memutuskan, di tangan-Nya segala sesuatu bergulir. 

Sebait Langkah

 

Gambar

 

Bergeraklah, hingga orang-orang tahu yang engkau tuju.

Bertuturlah, hingga orang-orang tahu apa yang engkau mau.

Membacalah, hingga orang-orang tahu apa yang menyesaki pikiranmu.

Menulislah, hingga orang-orang tahu yang engkau baca. 

Tersenyumlah, hingga orang-orang tahu apa yang engkau rasa.