sumber foto : www.fotocommunity.com
Sahabatku yang kucinta. Suatu saat, saya pernah bercakap-cakap dengan kakak kelas saya yang telah menyelesaikan studinya di Rusia. Kala itu saya banyak tanya mengenai negeri Tirai Besi tersebut. Setelah berbicara mulai dari ekonominya, teknologi, sistem pemerintah, sejarah, dan sebagainya, akhirnya senior saya ini berbisik pelan. “Kamu juga harus tahu wandra, orang-orang di sana cuek-cuek.” Saya hanya menunggu. Lanjutnya, “semakin dingin wilayahnya, semakin cueklah mereka.” Saya mulai mengintrogasi, “kok bisa?”. “Bukan cuma di Rusia, Wan. Di negara-negara Eropa juga begitu. Mereka tidak terlalu ramah dengan sesama terlebih turis asing. Juga memiliki kecenderungan yang hampir sama, semakin dingin suhu rata-ratanya, penduduknya kian menutup diri dan hanya mengurusi hal-hal yang penting saja.” Selidik saya, “kalau begitu, lebih nyaman di Indonesia dong, Kak?” Ia hanya menyungging senyum, “boleh jadi, boleh jadi.” Tutur lidahnya.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan seseorang sepulangnya dari Jepang dengan membawa gelar sarjananya. Ketika saya bertanya apakah dia lebih memilih hidup di Indonesia atau di Jepang, nyatanya dia memilih negeri pertiwi ini. “Mungkin saya cuma merindui teman-teman saya di sana, sama tempat-tempat wisatanya,” lirihnya. “Tapi kalau disuruh memilih lebih enak mana hidup di Indonesia atau di Jepang, jawabannya Indonesia.” Tidak cukup puas dengan pendapat kedua orang itu, guru saya yang pernah belajar di Perancis turut saya tanyai. Katanya, “ah, kalau bukan tuntutan belajar sih, mending di Indonesia saja.” Komentar yang singkat. Saya penasaran, “Alasannya?”. “Susah punya banyak teman di sana. Kalau ditanya, jawab seadanya. Bahkan di tingkat instansi pemerintah, kalau urusan kita nggak penting-penting amat, kita bisa dicuekin.” Boleh jadi tanggapan yang sama juga dirasakan oleh saudara-saudara kita yang sedang atau pernah menyicipi asam-garam negara yang lain.
Analisis sederhana saya, ada sebuah kecenderungan sifat penduduk suatu wilayah bergantung pada keadaan cuaca dan iklim di sana. Mengapa penduduk negara-negara eropa dan sejumlah negara yang beriklim dingin cenderung individualis dan tertutup? Mungkin karena suhu yang dingin membuat mereka harus berjalan atau bergerak lebih cepat agar suhu tubuh menghangat. Sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk bertegur sapa di jalan terlebih mengajaknya ngobrol berlama-lama. Keadaan ini juga yang membuat negara tersebut fokus mengurusi sesuatu yang dianggapnya penting sehingga terwujudlah keteraturan sistem dan kedisiplinan. Berbeda halnya dengan di Indonesia yang beriklim tropis. Bawaannya nyaman dan adem. Ketika ada yang bertanya A, kita bahkan sudi menjelaskan hingga Z. Jika di Negara dingin penduduknya enggan berada di tempat terbuka, maka penduduk indonesia malah sebaliknya. Semakin sering seseorang berada di alam terbuka dan menemui beragam manusia, semakin ramah dan terbuka pula dia. Akan tetapi, keadaan ini membuat penduduk Indonesia malas berurusan dengan sistem yang rumit hingga terbangunlah rasa toleransi yang tinggi. Seorang Bos akan dengan mudah memaafkan karyawannya yang terlambat hanya dengan alasan anaknya menangis saat ditinggalkan. Atau seorang dosen akan memaklumi ketika mendapati mahasiswanya terlambat karena semalam dia tidur kemalaman dan bangun kesiangan. Semudah itu? Iya, semudah itu maaf diberikan. Apakah hal serupa akan kita temui di Negara-negara dengan sistem disiplin yang tinggi tadi? Maaf kawan, bos dan dosen itu bisa katakan “ini bukan Indonesia”.
Sahabatku, jika engkau meyakini bahwa Allah itu Maha Adil, maka fenomena ini merupakan salah satunya. Boleh saja engkau menjelekkan Indonesia, bangsamu sendiri, tapi ketahuilah orang-orang di luar sana merindui bangsa seperti kita. Ingatkah kita pada tanggal 30 September 2013, sebuah surat kabar menuliskan Headline komentar miss world terpilih yang berasal dari Philipina yang mengakui secara terbuka bahwa Indonesia merupakan penduduk paling ramah di dunia. tidak terlalu jauh dari komentar miss world tersebut, Pak SBY, presiden kita, mendapat anugrah sebagai kepala sebuah Negara dengan tingkat toleransi paling tinggi di dunia. Bahkan, nenek moyang kita pun telah menggelari negeri ini dengan sebutan “gemah ripah loh jinawi”. Apakah kemudian kita tidak boleh mencemburui Negara lainnya? Tentu saja boleh. Namun, yang lebih berharga adalah kita mampu mensyukuri dan menghargai serta mencintai tanah tumpah darah kita ini, apa pun adanya.
Jangan pernah beranggapan bahwa Negara-negara maju itu sudah tidak memiliki masalah, boleh jadi masalah mereka lebih besar dari yang Allah berikan kepada Indonesia. Kita berhak saja kecewa atau membenci negeri ini karena kemacetan, banjir, polusi, penduduk miskin, kesehatan buruk, pendidikan tertinggal, atau wakil rakyat yang korupsi. Namun perlu sama-sama kita sadari bahwa di belahan bumi yang lain masalah yang dihadapi lebih beragam. Tidak ada satu bangsa pun yang tidak memiliki masalah, hanya saja ia dihadirkan dalam bentuk yang berbeda. Toh dengan berbagai masalah yang dihadapi Indonesia tidak membuat rakyatnya menjadi individualis layaknya di China, tidak pula egois seperti di Perancis, tidak juga mudah stress yang dialami penduduk Inggris, jauh dari penyakit obesitas yang kerap melanda Negara-neraga berpola makan cepat saji, dan jarang kita temui kasus bunuh diri mana yang di Amerika hal serupa telah menjadi biasa. Di sini, di negeri ini, kita masih dapat tersenyum saat pagi menyingsing, masih mudah menyapa meski banyak kerja, masih senang gembira ketika Senin tiba. Ringan tangan dalam membantu, berhati lapang kala berjibaku, hingga semuanya menjadi seru. Bukankah nikmat terindah itu ketika kita masih dapat mencintai dan dicintai oleh orang-orang yang ada di sisi? Terima kasih Tuhan, engkau telah anugerahkan Indonesia untukku, dialah tanah lahir, kecil besarku, makan laparku, haus dahagaku, tawa perihku, cinta getirku, napas matiku, dan hanya kepadaMu oh Tuhan segala syukur kualamatkan.