Seagung niat

Di dalam Islam, niat orang yang beriman lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada tindakannya. Namun sebaliknya, tindakannya orang yang munafik jauh lebih hina di sisi Allah dari pada niatnya. tulisan ini akan mengupas sedikit makna yang dikandungnya. 

Kita awali dengan sebuah kisah. Sebut saja namanya Ahmad, seorang mahasiswa rantau yang hidup dalam kesederhanaan. Suatu Jumat, ia sedang duduk di dalam masjid menunggu khatib menaiki mimbar. Kemudian terlintaslah di depannya kotak amal. Di dalam dompetnya terdapat lembaran 100rb, 50rb, 20rb, 10rb, 5rb dan 2rb. jadi total uang yang dimiliki Ahmad adalah 187rb. Jika Anda selaku Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan untuk dimasukkan ke dalam kotak amal tersebut? 

Hati Ahmad mulai berbisik, Ya Allah, hamba ingin sekali bersedekah sebanyak mungkin sebagai wujud syukur hamba atas rezekimu. Mengeluarkan lembar 100rb, lalu hamba masukkan ke dalam kotak amal ini. Tapi ya Allah, uang di dompet hamba ini adalah nominal yang akan menghidupi hamba selama 2 minggu ke depan. Hamba tidak memiliki uang lebih dari ini ya Allah. Maka, izinkan hamba untuk kali ini menarik lembar 5rb untuk hamba sedekahkan. Semoga tidak mengurangi keberkahan rezeki dariMu. Lalu Ahmad menyedekahkan lembar 5rb. Jika Anda sebagai Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan? 

Jika kita mengacu pada konteks niat, maka niatnya Ahmad(dalam hal ini kita menganggapnya sebagai orang yang beriman) itu lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada nilai sedekahnya. Bukan karena yang ia keluarkan lembar 5rb, bukan sama sekali. Tetapi karena niatnyalah yang lengantarkan bilah-bilah keridhaan. Niat Ahmad bersedekah 100rb, tetapi apa daya, kemampuan dia ketika itu belum memadai, lalu ia keluarkan 5rb, maka sungguh niatnya itu lebih mahal dari sedekah 100rb. 

Kasus sebaliknya, sebut saja namanya Bonar, seorang mahasiswa yang juga sebenarnya berasal dari daerah. Suatu hari ia pergi berkuliah. Sesampainya di kampus, dia bertemu dengan seorang mahasiswi yang selama ini ia kagumi. Mahasiswi ini menegurnya dan bonar pun salah tingkah. “Bonar mau kemana?” tanya akhwat ini. Karena Bonar ingin juga terlihat sholeh, beriman lagi baik hati, maka ia menjawab, “mau ke mushola, belum dhuha soalnya.” Tentu jawaban itu akan merenyuhkan hati siapapun, nenek-nenek juga akan kesemsem. Tapi apakah niat Bonar tulus karena Allah, tidak, ia menjawab itu semata-mata agar terlihat mulia bagi si akhwat. Nah, seandainya Bonar benar-benar ke mushola dan melakukan shalat dhuha, maka sholatnya itu lebih rendah derajatnya di sisi Allah dari pada niatnya. 

Wahai sahabatku yang dicintai Allah dan dirindui Rasulullah(aamiiin), perbaikilah niat sebelum engkau berangkat. Luruskan harapan sebelum engkau melangkah ke depan. Sebab, keagungan niat akan mengantarkan kita pada derajat yang lebih tinggi, sedangkan tercelanya niat akan menjatuhkan kita dalam kehinaan dan kenistaan. Di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” 

Amalah yang selama ini kita lakukan, akan menjadi buih yang hilang dihempas riak gelombang. Banyak memang, hingga peluh-peluh kita menetes dalam sujud kepada-Nya, tapi akan tak bernilai jika niat itu tidak tulus karena Allah. Terakhir, suatu ketika seorang pemuda menghadap Buya Hamka. Dengan menggebu-gebu pemuda ini berkata, “Wahai Buya, aku sungguh terkejut ketika aku berangkat ke Mekah. Ternyata, di sana itu ada juga tempat-tempat maksiat seperti perjudian, pelacuran dan klub-klub malam.” Pemuda ini belum selesai, “kenapa bisa begitu wahai Buya? Bagaimana mungkin di tanah kelahiran Kanjeng Rasul terdapat tempat-tempat semacam itu.” Lalu Buya Hamka angkat biacara, “Ah, yang benar saja? Saya baru saja pulang dari Los Angeles, tapi saya tidak menemukan tempat-tempat semacam itu?” “Ha? masa di Mekah ada tapi di Los Angeles tidak? Buya yang benar saja.” sambil tersenyum, Buya Hamka menjawab, “Anak muda, kita akan mendapatkan apa yang kita cari.”