Teladan Kepemimpinan: Muhammad SAW dan Seorang Pemuda Nasrani

         Gambar

         sumber foto: yahadramaut.wordpress.com

 

           Wahai Junjungan Alam, setelah empat belas abad yang lalu engkau tinggalkan dunia yang fana ini, manusia masih saja menjejaki bait-bait perjalanan hidupmu. Ingatkah engkau, suatu ketika, seorang pemuda nasrani mendatangimu lalu berkata, “wahai Muhammad, aku berniat memeluk agamamu. Akan kuakui Tuhanmu adalah Tuhanku dan engkau adalah utusanNya.” Hatimu berbunga sembari meretas senyum.

           Pemuda itu melanjuti, “tapi wahai Muhammad, aku belum dapat meninggalkan kebiasaan burukku. Aku masih kecanduan arak, menggilai zina, dan masih memelihara tabiat kaumku yakni pendendam dan ringan tangan untuk membunuh. Akankah engkau tetap izinkan aku menjadi umatmu?” Pemuda itu was-was menunnggu lidahmu mengulur kata.

           Wahai Pemilik hati dan lidah yang selalu terjaga, sungguh jawabanmu merupakan jawaban terindah yang pernah kudengar. Kau tak melarang pemuda itu untuk merangkul agama mulia ini meskipun bingkai agama ini masih enggan ia kenakan. Mengecilkan harapannya pun tidak. Kami seakan mendengar ketika engkau membisiki pemuda itu agar ia menuruti satu syarat. Ya, hanya satu syarat, JUJUR. “hanya itu wahai Muhammad?” tanya si pemuda tak menyangka. Kembali kau mengangguk dengan secarik senyum.

                Tapi tahukah engkau wahai Insan Yang halus budinya, syarat itu telah menjadi segelas air di Padang Sahara. Sederhana tapi mengena. Secuil tapi tidak kecil. Tenang tapi selalu menjadi bumerang bagi si pemuda untuk melakukan tindak jahiliyah yang tak dapat ia buang. Kami mengerti mengapa itu terjadi.

               Tentu engkau jauh pikir wahai baginda Rasul. Suatu saat ketika engkau menjumpai pemuda tersebut, engkau akan dengan mudah menanyakan apakah ia masih mabuk-mabukan? Andai saja kejujurannya berkata “iya”, engkau akan menyiapkan algojo untuk menyambuknya. Ketika engkau bertanya apakah ia masih berzina? Jika syaratmu itu memaksa lidahnya mengaku “iya”, maka engkau akan manggali tanah untuk merajami pemuda itu.

             Benar nian keputusanmu, jujur telah menjerat hatinya dan membelenggu nafsunya untuk tidak melakukan kemaksiatan. Ia gentar menemuimu andai ia masih berlaku seperti dulu, sedang ilmu agama harus ia tuntut darimu. Maka, perlahan ia tinggalkan kebiasaan itu. Apakah engkau menyuruhnya melakukan itu? Tidak wahai teladan kami. Engkau hanya menyaratinya dengan JUJUR.

              Boleh jadi, seandainya engkau melarang pemuda itu mengambil jalan keselamatan bersamamu dan para sahabat hingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya, pemuda itu tidak akan pernah kembali lagi untuk memintamu mensyahadatinya.

                Wahai sebaik-baik pemimpin, bersama rindu kami yang mendalam kepadamu, sebuah harapan kami selipkan pula atas kerinduan kami pada pemimpin yang cerdas sepertimu, yang bertutur indah layaknya lidahmu, berbudi santun umpama hatimu, dan berperangai mulia hingga kami digiringnya mengikutimu menuju Firdaus. Amin ya Rabb.

Seagung niat

Di dalam Islam, niat orang yang beriman lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada tindakannya. Namun sebaliknya, tindakannya orang yang munafik jauh lebih hina di sisi Allah dari pada niatnya. tulisan ini akan mengupas sedikit makna yang dikandungnya. 

Kita awali dengan sebuah kisah. Sebut saja namanya Ahmad, seorang mahasiswa rantau yang hidup dalam kesederhanaan. Suatu Jumat, ia sedang duduk di dalam masjid menunggu khatib menaiki mimbar. Kemudian terlintaslah di depannya kotak amal. Di dalam dompetnya terdapat lembaran 100rb, 50rb, 20rb, 10rb, 5rb dan 2rb. jadi total uang yang dimiliki Ahmad adalah 187rb. Jika Anda selaku Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan untuk dimasukkan ke dalam kotak amal tersebut? 

Hati Ahmad mulai berbisik, Ya Allah, hamba ingin sekali bersedekah sebanyak mungkin sebagai wujud syukur hamba atas rezekimu. Mengeluarkan lembar 100rb, lalu hamba masukkan ke dalam kotak amal ini. Tapi ya Allah, uang di dompet hamba ini adalah nominal yang akan menghidupi hamba selama 2 minggu ke depan. Hamba tidak memiliki uang lebih dari ini ya Allah. Maka, izinkan hamba untuk kali ini menarik lembar 5rb untuk hamba sedekahkan. Semoga tidak mengurangi keberkahan rezeki dariMu. Lalu Ahmad menyedekahkan lembar 5rb. Jika Anda sebagai Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan? 

Jika kita mengacu pada konteks niat, maka niatnya Ahmad(dalam hal ini kita menganggapnya sebagai orang yang beriman) itu lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada nilai sedekahnya. Bukan karena yang ia keluarkan lembar 5rb, bukan sama sekali. Tetapi karena niatnyalah yang lengantarkan bilah-bilah keridhaan. Niat Ahmad bersedekah 100rb, tetapi apa daya, kemampuan dia ketika itu belum memadai, lalu ia keluarkan 5rb, maka sungguh niatnya itu lebih mahal dari sedekah 100rb. 

Kasus sebaliknya, sebut saja namanya Bonar, seorang mahasiswa yang juga sebenarnya berasal dari daerah. Suatu hari ia pergi berkuliah. Sesampainya di kampus, dia bertemu dengan seorang mahasiswi yang selama ini ia kagumi. Mahasiswi ini menegurnya dan bonar pun salah tingkah. “Bonar mau kemana?” tanya akhwat ini. Karena Bonar ingin juga terlihat sholeh, beriman lagi baik hati, maka ia menjawab, “mau ke mushola, belum dhuha soalnya.” Tentu jawaban itu akan merenyuhkan hati siapapun, nenek-nenek juga akan kesemsem. Tapi apakah niat Bonar tulus karena Allah, tidak, ia menjawab itu semata-mata agar terlihat mulia bagi si akhwat. Nah, seandainya Bonar benar-benar ke mushola dan melakukan shalat dhuha, maka sholatnya itu lebih rendah derajatnya di sisi Allah dari pada niatnya. 

Wahai sahabatku yang dicintai Allah dan dirindui Rasulullah(aamiiin), perbaikilah niat sebelum engkau berangkat. Luruskan harapan sebelum engkau melangkah ke depan. Sebab, keagungan niat akan mengantarkan kita pada derajat yang lebih tinggi, sedangkan tercelanya niat akan menjatuhkan kita dalam kehinaan dan kenistaan. Di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” 

Amalah yang selama ini kita lakukan, akan menjadi buih yang hilang dihempas riak gelombang. Banyak memang, hingga peluh-peluh kita menetes dalam sujud kepada-Nya, tapi akan tak bernilai jika niat itu tidak tulus karena Allah. Terakhir, suatu ketika seorang pemuda menghadap Buya Hamka. Dengan menggebu-gebu pemuda ini berkata, “Wahai Buya, aku sungguh terkejut ketika aku berangkat ke Mekah. Ternyata, di sana itu ada juga tempat-tempat maksiat seperti perjudian, pelacuran dan klub-klub malam.” Pemuda ini belum selesai, “kenapa bisa begitu wahai Buya? Bagaimana mungkin di tanah kelahiran Kanjeng Rasul terdapat tempat-tempat semacam itu.” Lalu Buya Hamka angkat biacara, “Ah, yang benar saja? Saya baru saja pulang dari Los Angeles, tapi saya tidak menemukan tempat-tempat semacam itu?” “Ha? masa di Mekah ada tapi di Los Angeles tidak? Buya yang benar saja.” sambil tersenyum, Buya Hamka menjawab, “Anak muda, kita akan mendapatkan apa yang kita cari.” 

Sebait Langkah

 

Gambar

 

Bergeraklah, hingga orang-orang tahu yang engkau tuju.

Bertuturlah, hingga orang-orang tahu apa yang engkau mau.

Membacalah, hingga orang-orang tahu apa yang menyesaki pikiranmu.

Menulislah, hingga orang-orang tahu yang engkau baca. 

Tersenyumlah, hingga orang-orang tahu apa yang engkau rasa.