Saya, Anak Tarbiyah, Juga Berhak Menentukan

9 April tidak lama lagi. Kita tinggal menghitung hari. Pesta demokrasi yang kita nanti akan segera tiba dan menyesaki setiap sudut kota dan desa. Apakah dirimu sudah menentukan pilihan, kawan? Atau engkau memilih untuk tidak menentukan siapa pun? Baiklah, itu hakmu. Itu bagian dari demokrasimu.

Belakangan, di kampusku, isu politik ikut memanaskan hampir setiap diskusi kemahasiswaan. Saya juga ikut-ikutan ambil bagian. Entah itu mengikuti seminar, berdiskusi, mengamati melalui media, atau menimbang baik-buruk dari para calon wakil rakyat. Tapi diskusi-diskusi di kampusku itu terkadang menegangkan urat saraf. Menguras emosi. Menyinggung rasa di hati. Bahkan dapat mencederai persahabatan.

Ada sesuatu yang tidak nyaman bergemuruh di dadaku. Ketika ada yang berbisik-bisik mengatai bahwa saya adalah kader dari salah satu partai Islam. Alasannya general, karena saya anak tarbiah. Begitu tanggap mereka. Lantas mengapa kalau saya anak terbiyah? Apakah itu sebuah kepastian saya bagian dari partai tersebut? Tolong pikirkan lagi, kawan.

Saya harus sampaikan bahwa saya memang anak tarbiah. Mereka yang katanya dekat dengan agama. Ah, tidak juga. Boleh jadi kalian lebih paham soal itu. Tapi kami sedang mencoba untuk mempelajarinya. Berkumpul sesama kami lalu berbagi ilmu. Berkumpul sesama kami lalu saling mengingatkan. Berkumpul sesama kami guna merengkuh persaudaraan, lalu menaburkannya dalam kebermanfaatan di kehidupan. Apakah aktivitas itu yang kausebut politisasi? Aktivitas semulia apalagi hingga kau menyebutnya kebaikan yang patut kaucemburui.

Hei, kau harus ingat, kesan itu lebih penting dari pada fakta. Seseorang ustadz tentu tidak boleh terlihat di tempat (maaf) pelacuran, sebab kesannya sangat tidak baik, meski faktanya si ustadz ke sana untuk mendakwahi mereka. Begitu juga seorang pemimpin tidak boleh terlihat keluar dari markas perjudian, meskipun di dalam ia baru saja bernego dengan pemiliknya untuk segera menutup tempat maksiat tersebut. Bahkan dalam tataran kasus gratifikasi, seorang pejabat negara akan bermasalah jika memberikan sesuatu kepada pejabat negara yang lain. Padahal, niat memberinya tulus, sebagai rasa terima kasih atau sekadar pengikat persaudaraan. Apanya yang bermasalah? Kesan yang ditimbulkan, kawan. Orang-orang akan melihat itu sebagai kesan, dan memburamkan fakta dibaliknya.

Lalu, jika kesan yang timbul ketika orang-orang melihat kumpulan anak tarbiah adalah partai Islam itu, mengapa harus tetap memilih tarbiah sebagai ladang menuntut ilmu agama? Apakah tidak ada jamaah lain yang tidak berhaluan politik?

Baik, saya coba jelaskan. Dulu, ketika saya masih di kampung (Aceh), saya sama sekali tidak mengenal terbiah. Hingga lulus MTs (semarga dengan SMP IT), saya terbang ke Jakarta guna melanjutkan di sebuah Madrasah ‘Aliyah (sesuku dengan SMA IT) di Serpong, Tangerang. Di sana saya juga belum paham apa itu tarbiah, masih remang-remang. Hingga saya lulus dan bertemu dengan dunia nyata (sejak lulus SD saya hidup di asrama), saya belum juga berkenalan dengan tarbiah. Barulah ketika saya masuk UI, bersalaman dengan beberapa teman, dan kemudian berkenalan dengan tarbiah. Awalnya, saya hanya berniat untuk menimba ilmu agama dari orang yang lebih paham. Tapi ternyata saya mendapatkan lebih. Jika di forum yang lain saya merasa canggung untuk sekadar bersalaman lalu bertepuk bahu, maka di sini saya sidak segan untuk bersapa pipi, bahkan di lubuk sana hati kami saling berpelukan. Jika di forum lain saya merasa tidak enak meminta tolong diambilkan makan, maka di sini saya akan kehilangan segan untuk meminta disuapi. Jika di forum lain saya ragu untuk berbisik bahwa saya sedang tidak memiliki uang, tapi di sini saya tidak malu untuk meminta receh. Jika di forum lain saya enggan memohon dijemput, di sini saya bahkan ditawari untuk diantar. Di tempat lain saya masih berusaha hitung-hitungan, di sini saya berusaha untuk membagi dua dengan yang lain. Jika perlu cukuplah sisanya untuk saya. Di tempat lain saya segan menegur, di sini kami terbiasa untuk saling menasihati. Inilah alasan saya tetap di sini, di jalan ini. Sebab di sinilah saya menemukan bilah-bilah persahabatan. Persahabatan yang bahkan melebihi kekeluargaan. Jadi kami tidak hanya belajar agama, tapi kami juga belajar bersaudara.

Demikianlah prinsip, ianya tak pernah tertukar dengan komentar. Saya tidak peduli apa kata orang, niat saya tetap belajar, berusaha menjadi lebih baik, mengamalkan apa yang saya tahu, menebarkan kebaikan, dan mengokohkan persaudaraan.

Meski saya anak tarbiah, tapi saya katakan saya bukan bagian dari partai yang kau maksud itu. Dan juga tidak dengan partai yang lain. Saya hanya seorang mahasiswa yang butuh waktu untuk menerjuni dunia politik. Namun jika engkau tetap memaksaku untuk menentukan satu, saya akan berafiliasi pada partai Islam itu. Catat, hanya berafiliasi. Apa bedanya? Afiliasi itu hanya bentuk hubungan yang sifat dasarnya berdiri sendiri, jadi bukan bagian secara utuh. Sederhananya adalah simpatisan belaka. Wajar jika saya berafiliasi ke sana. Sebab ideologi yang diusung partai tersebut sejalan dengan apa yang saya dan teman-teman saya harapkan, yaitu merebaknya nilai-nilai kebaikan yang agama kami ajarkan di sudut-sudut kehidupan. Juga perlu kau catat, ini bukanlah islamisasi. Sebab tidak ada paksaan dalam beragama. Kau berhak memilih jalan hidupmu, seberhak kami untuk memilih apakah kami harus memasuki partai atau tidak.

Dulu ketika Jokowi menyalonkan diri sebagai gubernur Jakarta, saya salah satu orang yang menaruh percaya kepada beliau. Bukan kepada tokoh yang diusung partai Islam itu. Namun, ketika Pak Aher menyalonkan diri untuk kedua kalinya memimpin Jawa Barat, saya mendukungnya. Bukan karena ia berasal dari partai itu, tapi alah karena kinerja beliau telah teruji dan terbukti. Bahkan di tingkat kampus, terkadang saya memilih utusan dari luar tarbiah, meski lebih sering condong pada kandidat dari tarbiah. Lalu apa yang menggerakkan hati saya untuk memilih mereka? Ya tentu saya melihat kompetensi dan rekam jejak mereka. Saya tidak terlalu peduli dari golongan mana ia berasal, tapi lebih mengamati siapa dia dan apa yang diusung untuk orang yang akan dipimpinnya. Seharusnya engkau juga begitu, kawan.

Lho, memangnya berpolitik salah? Tidak. Sebagai mana kata orang, bukan politiknya yang salah tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Tapi terkadang saya berpikir, bukan orang-orangnya juga yang salah tapi sistem yang telah terbentuk itu yang salah.

Saya sedih sekali ketika pemungutan suara anggota DPR mengenai kebijakan kontroversial harga BBM. Dinaikkan atau tidak. Ketika itu hampir semuanya tidak lagi mewakili rakyatnya, melainkan partainya. Hanya hitungan sebelah tangan yang memilih berbeda. Termasuk partai Islam itu. Apakah latar pendidikan dari satu partai itu sama hingga analisis mereka tak berbeda? Apakah latar sosial mereka sama hingga harus sekata? Ah, omong kosong. Dalam partai itu tentu ada yang ahli ekonomi, ahli agama, ahli sosial, ahli negara, juga ahli diplomasi yang barang tentu cara berpikir dan menganalisis mereka juga berbeda. Dari almamater yang sama tapi karena sekarang di partai yang berbeda, akhirnya terpaksa mengambil kebijakan yang sesuai dengan kehendak partai. Sampai-sampai memburamkan ilmu yang sama ketika dulu mereka masih menimbanya dari guru yang sama. Nah, inilah ranah politik, pilihan ada di tanganmu. “Politikus yang menyalahkan politik,” ucap salah seorang tokoh, “sama halnya dengan nahkoda yang menyalahkan lautan.”

Kemudian, jika ada yang berkomentar, “Islam itu kan harus masuk ke semua sisi. Bahkan ranah politik sekalipun”. Baik, saya coba jelaskan. Sejak awal saya tidak antipati dengan politik. Bahkan saya antipasti dengan orang yang antipolitik. Buktinya saya masih memilih, saya masih ikut kajian-kajian politik, saya juga tidak jarang beradu argumen atas sejumlah kebijakan negara. Tapi jangan pernah ajak saya berpikir apalagi bertindak untuk menjatuhkan lawan dengan mengenyampingkan prinsip dan nilai-nilai kebenaran. Jika itu memang benar, insyaAllah, tanpa harus kauajak, saya sendiri yang akan datang.

Andai ada sahabat dari tarbiah yang menanyai saya, “Wan, ente kan tahu, dakwah itu harus bersama-sama termasuk dalam hal as-siasi (pemerintahan atau politik). Jadi ente harus masuk juga dong sebagai bentuk dakwah yang kaffah(sepenuhnya).” Maka dengan penuh kemesraan saya akan menjawab, “Akhir fillah, sungguh, andai saja bukan karena dakwah ini, saya akan lebih memilih mengurusi bisnis saja. Andai saja bukan karena kebermanfaatan, tentu 2 buku motivasi Islam saya tak usah saya terbitkan. Andai saja bukan karena kecintaan pada negara ini, mungkin saya lebih memilih hidup di sudut perkampungan Aceh sana dengan tenang sembari menikmati alam. Andai saja bukan karena Allah, mungkin ukhuwah kita hanya terpaut dunia, tidak lagi bercita-cita bertetangga nanti di syurga. Ane akan senantiasa di samping antum akhi, kita akan seiring bahu seayun langkah selama kita masih sepakat untuk menegakkan kebaikan dan menebarkan kebermanfaatan. Membangun cinta hingga menjulang, tinggi menggapai jannah. Aamiiin.”

Sebagai renungan, saya ingin berkisah cerita Sa’d bin Abi Waqqash dan Al-Mughirah ibn Syu’bah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Dikisahkan pada waktu itu Sa’d bin Abi Waqqash menjabat sebagai Gubernur Kufah. Di bawah kepemimpinannya, penduduk Kufah tidak merasa nyaman dengan sikapnya. Jarang bergaul, menyendiri dalam ibadahnya, dan kurang bijak dalam mengambil keputusan menjadi boomerang bagi Sa’d sebagai pemimpin bangsa Arab Kufah yang terkenal sulit diatur. Padahal, dari segi ibadah Sa’d tak perlu diragukan. Bahkan Rasulullah SAW pernah mendoakan semoga Allah menjadikan doa Sa’d bin Abi Waqqash mustajab.

Dengan keadaan Kufah yang semacam itu, datanglah Al-Mughirah bin Syu’bah melapor kepada Umar bin Khattab. “Wahai Amirul Mukminin” ia mengawali laporannya, “sungguh seseorang yang bertaqwa namun lemah itu, ketaqwaannya menjadi miliknya sendiri. Sementara kelemahannya akan menjadi aib bagimu sebagai kepala pemerintahan, wahai pemimpin umat. Adapun orang yang kuat tapi bermaksiat, kemaksiatannya menjadi tanggung jawabnya. Sementara kekuatannya akan menjadi kekuatan bagimu dan kemaslahatan umatmu.” Sejenak Umar merenung. “Engkau benar wahai Al-Mughirah” ucap sang Khalifah, “Berangkatlah engkau ke Kufah. Katakan kepada Sa’d bin Abi Waqqash bahwa aku menggantinya denganmu. Sungguh demi Allah, Sa’d adalah orang yang bertaqwa namun lemah, dan engkau orang yang kuat lagi maksiat.”

Semoga kita sepakat. Pada tanggal 9 April nanti kita memilih bukan semata karena latar belakang golongannya (baca:partai), tapi lebih melihat kemaslahatan atau kebaikan yang ia mungkin berikan kepada masyarakat nantinya. Tapi engkau juga perlu sadar, kawan, bahwa tanggal 9 April nanti adalah politik. Maka kita berdoa semoga para wakil rakyat itu tak perlu menyalahkan lautan yang mereka seberangi, tapi semoga mereka persiapkan kapal yang tangguh untuk menghadapi ganasnya samudra. Hingga kebaikan akan tetap ada hingga di ujung sana. Dan tentu, Tuhan akan memenangkan kebaikan atas kebathilan. Siapa pun, di mana pun, dan sampai kapan pun.

Untuk Indonesia yang lebih baik. Kita percaya.