Cicak vs Nyamuk

Setiap makhluk yang Allah ciptakan telah memiliki alur rezekinya masing-masing. Ada yang Allah berikan keberlimpahan dan ada juga yang Allah sekadar cukupkan. Yang menjadi soal, bagaimana cara kita mendapatkannya.
Di sudut yang lain, andai saja semua makhluk boleh protes kepada Allah atas rezeki yang diberikan kepadanya, maka makhluk yang akan pertama kali protes adalah si cicak. mengapa?

Sesuai dengan lirik lagu “cicak-cicak di dinding”, yang hanya bisa “diam-diam merayap”. Dengan kemampuan yang hanya bisa merayap itu ternyata Allah takdirkan kepadanya seekor nyamuk sebagai rezekinya yang dapat terbang ke sana ke mari jauh tinggi ke tempat yang ia suka. Tapi ternyata lirik berikutnya “datang seekor nyamuk”, bukan cicak yang mendatangi nyamuk, melainkan nyamuk yang mendatangi cicak. Lalu lirik yang penutup “Hap, lalu ditangkap.” inilah proses yang terakhir, kesigapan, kehati-hatian, kecepatan, dan tindakan nyata dari si cicak untuk menjemput rezeki yang “sengaja” datang kepadanya melalui kehendak Allah.

Hikmah. Allah swt telah mengirimkan banyak sekali rezeki kita di sekitar kita. ada yang kadarnya sulit dan ada yang mudah. ada yang banyak dan ada pula yang cukup. persoalannya adalah, apakah kita dengan sigap menjemputnya atau membiarkannya pergi. maka tidak ada yang perlu kita sesali atau kecewai, hidup ini bergantung bagaimana cara kita menjemput nikmat-nikmat yang Allah taburi di sekitar kita.
Belajarlah dari cicak yang tak pernah menyalahkan keadaannya yang hanya mampu menempel di dinding, sedangkan nyamuk bersayap. Tapi tercayalah bahwa Allah, Sang Pemberi Rezeki, akan mengirimkan rezeki itu. Tidak langsung ke mulut kita, tapi Dia meletakkannya tidak jauh dari kita supaya kita menjadi hamba yang pandai berusaha, sekaligus bukan yang pesimistis. Namun, jika kita hanya mengeluh dan tidak melakukan apa-apa, Allah akan mengambilnya kembali. Maka kita harus memilih, apakah akan menjemputnya, atau membiarkannya berlalu dan hidup tidak pernah berubah.

“Tidak selalu yang besar itu sulit didapat, tapi yang sulit itu pasti membuahkan sesuatu yang besar.” percayalah.

 

Bekasi, 10 April 2014

Tuhan, Beri Tahu Aku, dari Apa Engkau Menciptakannya?

Gambar

sumber foto : luvislam92.blogspot.com

Aku selalu rindu tetesan lembut ambun pagi. Aku selalu rindu belaian syahdu angin senja. Aku selalu rindu kicauan burung di keheningan hutan. Aku selalu rindu cahaya rembulan dalam diamnya malam. Namun, apakah kamu tahu, jauh di dalam sana rinduku padamu jauh lebih besar, jauh lebih mengakar.

Belakangan ini, ada sesuatu yang aneh dengan rutinitasku. Dulu, aku hanya berpikir tugas-tugas kuliahku, pekerjaan rumahku, dan agenda-agenda organisasiku, tapi sekarang bertambah satu. Ada pikiran yang tersita untukmu. Seharusnya tak perlu kulakukan, karena engkau bukan siapa-siapa bagiku. Apalagi aku, mungkin kaukenal saja tidak.

Seperti yang kukatakan tadi, ada porsi rutinitasku yang kausita tanpa kauminta. Aku sendiri yang melakukannya. Membuka halaman facebook-mu, mengamati kicauan twitter-mu, membongkar-bongkar isi tumblr-mu dan terkadang mencuri dengar gosipan teman-temanku tentang dirimu. Padahal aku sudah membacanya berkali-kali, tapi tetap saja kuulangi. Padahal aku sudah mendengar itu sebelumnya, tapi tetap saja terasa istimewa. Di luar kesadaranku, ada senyum yang merekah malu-malu.

Dari kejauhan, diam-diam aku mengamati gerak-gerikmu. Jika tiba-tiba kita dalam satu forum, komentarmu, argumenmu, pendapatmu selalu kutunggu. Diammu kuamati tutur katamu aku nanti. Jika kita berpapasan, aku menundukkan pandangan. Jika berhadapan, aku mengalihkan penglihatan. Di sini, aku mencoba untuk tetap menjaga. Menjaga hati agar ia tak ternoda. Sebab kita bukan siapa-siapa. Aku hanya mengagumimu dalam rahasia. Apa? Kausebut itu cinta? Aduh, aku belum dapat berkata apa-apa.

Aku tahu mengapa Engkau menciptakan langit begitu megah, agar aku menengadah dan mengucapkan subhanallah. Aku tahu mengapa Engkau menciptakan gunung begitu indah, agar aku mengucapkan Alhamdulillah. Aku tahu mengapa Engkau menciptakan gurun-gurun yang luas terhampar, agar aku senantiasa membasahi lidahku dengan Allahu akbar. Tapi ada sesatu yang ingin aku tahu. Wahai malaikat, jika engkau bertemu Tuhanku, tolong tanyakan pada-Nya, dari apa Dia menciptakan orang itu hingga membuatku candu. Dan jika engkau wahai malaikat memiliki cukup waktu, tolong juga tanyakan pada-Nya, apakah namaku dan namanya sudah tertulis untuk hidup bersama? Sampaikan jawaban itu melalui mimpi-mimpiku atau dalam sujud pada-Mu di sepertiga malamku.

Aku ingin meran…

Aku ingin merangkai masa depan bersama wanita sepertimu, tapi aku tak tahu harus mencarinya ke mana. Tolong tunjukkan di mana dan siapa dia? Jika dirimu pun tak tahu, mungkin Dia memang hanya menciptakan satu di dunia ini. Dirimu! Ya, dirimu.

Saya, Anak Tarbiyah, Juga Berhak Menentukan

9 April tidak lama lagi. Kita tinggal menghitung hari. Pesta demokrasi yang kita nanti akan segera tiba dan menyesaki setiap sudut kota dan desa. Apakah dirimu sudah menentukan pilihan, kawan? Atau engkau memilih untuk tidak menentukan siapa pun? Baiklah, itu hakmu. Itu bagian dari demokrasimu.

Belakangan, di kampusku, isu politik ikut memanaskan hampir setiap diskusi kemahasiswaan. Saya juga ikut-ikutan ambil bagian. Entah itu mengikuti seminar, berdiskusi, mengamati melalui media, atau menimbang baik-buruk dari para calon wakil rakyat. Tapi diskusi-diskusi di kampusku itu terkadang menegangkan urat saraf. Menguras emosi. Menyinggung rasa di hati. Bahkan dapat mencederai persahabatan.

Ada sesuatu yang tidak nyaman bergemuruh di dadaku. Ketika ada yang berbisik-bisik mengatai bahwa saya adalah kader dari salah satu partai Islam. Alasannya general, karena saya anak tarbiah. Begitu tanggap mereka. Lantas mengapa kalau saya anak terbiyah? Apakah itu sebuah kepastian saya bagian dari partai tersebut? Tolong pikirkan lagi, kawan.

Saya harus sampaikan bahwa saya memang anak tarbiah. Mereka yang katanya dekat dengan agama. Ah, tidak juga. Boleh jadi kalian lebih paham soal itu. Tapi kami sedang mencoba untuk mempelajarinya. Berkumpul sesama kami lalu berbagi ilmu. Berkumpul sesama kami lalu saling mengingatkan. Berkumpul sesama kami guna merengkuh persaudaraan, lalu menaburkannya dalam kebermanfaatan di kehidupan. Apakah aktivitas itu yang kausebut politisasi? Aktivitas semulia apalagi hingga kau menyebutnya kebaikan yang patut kaucemburui.

Hei, kau harus ingat, kesan itu lebih penting dari pada fakta. Seseorang ustadz tentu tidak boleh terlihat di tempat (maaf) pelacuran, sebab kesannya sangat tidak baik, meski faktanya si ustadz ke sana untuk mendakwahi mereka. Begitu juga seorang pemimpin tidak boleh terlihat keluar dari markas perjudian, meskipun di dalam ia baru saja bernego dengan pemiliknya untuk segera menutup tempat maksiat tersebut. Bahkan dalam tataran kasus gratifikasi, seorang pejabat negara akan bermasalah jika memberikan sesuatu kepada pejabat negara yang lain. Padahal, niat memberinya tulus, sebagai rasa terima kasih atau sekadar pengikat persaudaraan. Apanya yang bermasalah? Kesan yang ditimbulkan, kawan. Orang-orang akan melihat itu sebagai kesan, dan memburamkan fakta dibaliknya.

Lalu, jika kesan yang timbul ketika orang-orang melihat kumpulan anak tarbiah adalah partai Islam itu, mengapa harus tetap memilih tarbiah sebagai ladang menuntut ilmu agama? Apakah tidak ada jamaah lain yang tidak berhaluan politik?

Baik, saya coba jelaskan. Dulu, ketika saya masih di kampung (Aceh), saya sama sekali tidak mengenal terbiah. Hingga lulus MTs (semarga dengan SMP IT), saya terbang ke Jakarta guna melanjutkan di sebuah Madrasah ‘Aliyah (sesuku dengan SMA IT) di Serpong, Tangerang. Di sana saya juga belum paham apa itu tarbiah, masih remang-remang. Hingga saya lulus dan bertemu dengan dunia nyata (sejak lulus SD saya hidup di asrama), saya belum juga berkenalan dengan tarbiah. Barulah ketika saya masuk UI, bersalaman dengan beberapa teman, dan kemudian berkenalan dengan tarbiah. Awalnya, saya hanya berniat untuk menimba ilmu agama dari orang yang lebih paham. Tapi ternyata saya mendapatkan lebih. Jika di forum yang lain saya merasa canggung untuk sekadar bersalaman lalu bertepuk bahu, maka di sini saya sidak segan untuk bersapa pipi, bahkan di lubuk sana hati kami saling berpelukan. Jika di forum lain saya merasa tidak enak meminta tolong diambilkan makan, maka di sini saya akan kehilangan segan untuk meminta disuapi. Jika di forum lain saya ragu untuk berbisik bahwa saya sedang tidak memiliki uang, tapi di sini saya tidak malu untuk meminta receh. Jika di forum lain saya enggan memohon dijemput, di sini saya bahkan ditawari untuk diantar. Di tempat lain saya masih berusaha hitung-hitungan, di sini saya berusaha untuk membagi dua dengan yang lain. Jika perlu cukuplah sisanya untuk saya. Di tempat lain saya segan menegur, di sini kami terbiasa untuk saling menasihati. Inilah alasan saya tetap di sini, di jalan ini. Sebab di sinilah saya menemukan bilah-bilah persahabatan. Persahabatan yang bahkan melebihi kekeluargaan. Jadi kami tidak hanya belajar agama, tapi kami juga belajar bersaudara.

Demikianlah prinsip, ianya tak pernah tertukar dengan komentar. Saya tidak peduli apa kata orang, niat saya tetap belajar, berusaha menjadi lebih baik, mengamalkan apa yang saya tahu, menebarkan kebaikan, dan mengokohkan persaudaraan.

Meski saya anak tarbiah, tapi saya katakan saya bukan bagian dari partai yang kau maksud itu. Dan juga tidak dengan partai yang lain. Saya hanya seorang mahasiswa yang butuh waktu untuk menerjuni dunia politik. Namun jika engkau tetap memaksaku untuk menentukan satu, saya akan berafiliasi pada partai Islam itu. Catat, hanya berafiliasi. Apa bedanya? Afiliasi itu hanya bentuk hubungan yang sifat dasarnya berdiri sendiri, jadi bukan bagian secara utuh. Sederhananya adalah simpatisan belaka. Wajar jika saya berafiliasi ke sana. Sebab ideologi yang diusung partai tersebut sejalan dengan apa yang saya dan teman-teman saya harapkan, yaitu merebaknya nilai-nilai kebaikan yang agama kami ajarkan di sudut-sudut kehidupan. Juga perlu kau catat, ini bukanlah islamisasi. Sebab tidak ada paksaan dalam beragama. Kau berhak memilih jalan hidupmu, seberhak kami untuk memilih apakah kami harus memasuki partai atau tidak.

Dulu ketika Jokowi menyalonkan diri sebagai gubernur Jakarta, saya salah satu orang yang menaruh percaya kepada beliau. Bukan kepada tokoh yang diusung partai Islam itu. Namun, ketika Pak Aher menyalonkan diri untuk kedua kalinya memimpin Jawa Barat, saya mendukungnya. Bukan karena ia berasal dari partai itu, tapi alah karena kinerja beliau telah teruji dan terbukti. Bahkan di tingkat kampus, terkadang saya memilih utusan dari luar tarbiah, meski lebih sering condong pada kandidat dari tarbiah. Lalu apa yang menggerakkan hati saya untuk memilih mereka? Ya tentu saya melihat kompetensi dan rekam jejak mereka. Saya tidak terlalu peduli dari golongan mana ia berasal, tapi lebih mengamati siapa dia dan apa yang diusung untuk orang yang akan dipimpinnya. Seharusnya engkau juga begitu, kawan.

Lho, memangnya berpolitik salah? Tidak. Sebagai mana kata orang, bukan politiknya yang salah tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Tapi terkadang saya berpikir, bukan orang-orangnya juga yang salah tapi sistem yang telah terbentuk itu yang salah.

Saya sedih sekali ketika pemungutan suara anggota DPR mengenai kebijakan kontroversial harga BBM. Dinaikkan atau tidak. Ketika itu hampir semuanya tidak lagi mewakili rakyatnya, melainkan partainya. Hanya hitungan sebelah tangan yang memilih berbeda. Termasuk partai Islam itu. Apakah latar pendidikan dari satu partai itu sama hingga analisis mereka tak berbeda? Apakah latar sosial mereka sama hingga harus sekata? Ah, omong kosong. Dalam partai itu tentu ada yang ahli ekonomi, ahli agama, ahli sosial, ahli negara, juga ahli diplomasi yang barang tentu cara berpikir dan menganalisis mereka juga berbeda. Dari almamater yang sama tapi karena sekarang di partai yang berbeda, akhirnya terpaksa mengambil kebijakan yang sesuai dengan kehendak partai. Sampai-sampai memburamkan ilmu yang sama ketika dulu mereka masih menimbanya dari guru yang sama. Nah, inilah ranah politik, pilihan ada di tanganmu. “Politikus yang menyalahkan politik,” ucap salah seorang tokoh, “sama halnya dengan nahkoda yang menyalahkan lautan.”

Kemudian, jika ada yang berkomentar, “Islam itu kan harus masuk ke semua sisi. Bahkan ranah politik sekalipun”. Baik, saya coba jelaskan. Sejak awal saya tidak antipati dengan politik. Bahkan saya antipasti dengan orang yang antipolitik. Buktinya saya masih memilih, saya masih ikut kajian-kajian politik, saya juga tidak jarang beradu argumen atas sejumlah kebijakan negara. Tapi jangan pernah ajak saya berpikir apalagi bertindak untuk menjatuhkan lawan dengan mengenyampingkan prinsip dan nilai-nilai kebenaran. Jika itu memang benar, insyaAllah, tanpa harus kauajak, saya sendiri yang akan datang.

Andai ada sahabat dari tarbiah yang menanyai saya, “Wan, ente kan tahu, dakwah itu harus bersama-sama termasuk dalam hal as-siasi (pemerintahan atau politik). Jadi ente harus masuk juga dong sebagai bentuk dakwah yang kaffah(sepenuhnya).” Maka dengan penuh kemesraan saya akan menjawab, “Akhir fillah, sungguh, andai saja bukan karena dakwah ini, saya akan lebih memilih mengurusi bisnis saja. Andai saja bukan karena kebermanfaatan, tentu 2 buku motivasi Islam saya tak usah saya terbitkan. Andai saja bukan karena kecintaan pada negara ini, mungkin saya lebih memilih hidup di sudut perkampungan Aceh sana dengan tenang sembari menikmati alam. Andai saja bukan karena Allah, mungkin ukhuwah kita hanya terpaut dunia, tidak lagi bercita-cita bertetangga nanti di syurga. Ane akan senantiasa di samping antum akhi, kita akan seiring bahu seayun langkah selama kita masih sepakat untuk menegakkan kebaikan dan menebarkan kebermanfaatan. Membangun cinta hingga menjulang, tinggi menggapai jannah. Aamiiin.”

Sebagai renungan, saya ingin berkisah cerita Sa’d bin Abi Waqqash dan Al-Mughirah ibn Syu’bah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Dikisahkan pada waktu itu Sa’d bin Abi Waqqash menjabat sebagai Gubernur Kufah. Di bawah kepemimpinannya, penduduk Kufah tidak merasa nyaman dengan sikapnya. Jarang bergaul, menyendiri dalam ibadahnya, dan kurang bijak dalam mengambil keputusan menjadi boomerang bagi Sa’d sebagai pemimpin bangsa Arab Kufah yang terkenal sulit diatur. Padahal, dari segi ibadah Sa’d tak perlu diragukan. Bahkan Rasulullah SAW pernah mendoakan semoga Allah menjadikan doa Sa’d bin Abi Waqqash mustajab.

Dengan keadaan Kufah yang semacam itu, datanglah Al-Mughirah bin Syu’bah melapor kepada Umar bin Khattab. “Wahai Amirul Mukminin” ia mengawali laporannya, “sungguh seseorang yang bertaqwa namun lemah itu, ketaqwaannya menjadi miliknya sendiri. Sementara kelemahannya akan menjadi aib bagimu sebagai kepala pemerintahan, wahai pemimpin umat. Adapun orang yang kuat tapi bermaksiat, kemaksiatannya menjadi tanggung jawabnya. Sementara kekuatannya akan menjadi kekuatan bagimu dan kemaslahatan umatmu.” Sejenak Umar merenung. “Engkau benar wahai Al-Mughirah” ucap sang Khalifah, “Berangkatlah engkau ke Kufah. Katakan kepada Sa’d bin Abi Waqqash bahwa aku menggantinya denganmu. Sungguh demi Allah, Sa’d adalah orang yang bertaqwa namun lemah, dan engkau orang yang kuat lagi maksiat.”

Semoga kita sepakat. Pada tanggal 9 April nanti kita memilih bukan semata karena latar belakang golongannya (baca:partai), tapi lebih melihat kemaslahatan atau kebaikan yang ia mungkin berikan kepada masyarakat nantinya. Tapi engkau juga perlu sadar, kawan, bahwa tanggal 9 April nanti adalah politik. Maka kita berdoa semoga para wakil rakyat itu tak perlu menyalahkan lautan yang mereka seberangi, tapi semoga mereka persiapkan kapal yang tangguh untuk menghadapi ganasnya samudra. Hingga kebaikan akan tetap ada hingga di ujung sana. Dan tentu, Tuhan akan memenangkan kebaikan atas kebathilan. Siapa pun, di mana pun, dan sampai kapan pun.

Untuk Indonesia yang lebih baik. Kita percaya. 

Aku Ingin Mati dalam Sujud kepada-Mu

Gambar

Sumber foto : www.islam44.net 

 

Kaum Yahudi, pada perang dunia kedua, digenosida dan menjemput mati akibat kelaparan juga kedinginan. 

Masyarakat Jepang, menghela kematian akibat dijatuhi bom atom.

Di Bosnia sana, anak-anak kelaparan hingga mati dalam pelukan. 

Di Palestina, dengan gagah berani mereka mengantar kematian dengan cita-cita dibayar syurga. 

Mati adalah suatu kepastian, entah hari ini atau esok tiba. entah lama atau sekejab saja, entah beruntung atau celaka. 

Maka di sini, aku ingin mati dalam sujud kepada-Mu, dalam getar lidah yang belum sempat kering merapalkan asma-Mu. 

Maka di sini, aku ingin mati dengan keringat yang belum sempat menetes demi menabur kebaikan hingga di ujung napasku. 

Maka di sini pula, aku ingin mewariskan sebait kebaikan agar ia senantiasa menjadi tabungan keridhaan-Mu, menjadi wewangi sampai aku pantas bersampingan dengan orang-orang sholeh, juga menjadi alasan ketika aku ditanyai di bibir jannah-Mu nanti lalu malaikat mempersilakanku untuk memasuki istana yang sehalaman dengan para syuhada. aamiiin ya Rabb. 

Inginku, akankah ia juga inginmu?

Gambar

sumber foto : archive.kaskus.co.id 

Aku ingin menulis semua kisahmu, tentang kemarinmu, harimu bahkan esokmu. Ingin kutulis semuanya, tentang sikap baikmu, tutur kata sopanmu, senyum tulusmu, canda ringanmu, juga perhatian kecilmu. Ingin kutulis semuanya, tidak dalam buku cacatanku, tapi di sini, di dalam hatiku. Tapi aku tidak tahu bagaimana menulisnya. Apakah dirimu berkenan mengajarkannya? Entahlah.  Atau mungkin penanya belum aku miliki. Apakah di sana dirimu menyimpannya? Entahlah.

Aku ingin melukis bintang, mewarnai pelangi, menggenggam awan, memeluk bumi. Katamu itu berlebihan? Begitulah inginku ketika dekat denganmu. Terkesan tidak mungkin memang. Sebagaimana jauhnya kenyataan harapanku untuk selalu bersamamu.

Ketika aku berpapasan denganmu, ingin rasa aku bertanya kabarmu. Tapi lidahku kelu mengucapkannya. Ketika mata kita beradu, ingin rasa itu terjadi barang 5 detik saja agar kekagumanku terobati. Tapi sedetik pun aku tak kuasa. Ketika kubaca tulisanmu, ingin rasanya namaku ada di sana. Walau sekadar catatan kaki, tak perlu di bagian isi. Ketika kulihat dari kejauhan engkau sedang berolah raga di lapangan, ingin sekali aku membawakan seteguk air dingin guna melegakan dahagamu. Tapi kau tak butuh itu, bukan tak butuh airnya, tapi akunya. Ketika engkau berjalan mendekatiku, degupan jantungku terdengar hingga telinga. Aku ingin engkau bertanya “apa kabarmu, sayang?” oh tidak, tidak. Aku bahkan tidak perlu kata ‘sayang’ itu, cukup tanyai aku kabar saja. Apakah dirimu tidak ada sedikit keinginan mengetahui kabarku? Kabar hatiku? Entahlah.

Andai saja aku boleh memilih, mungkin aku akan memilih untuk tidak mengenalimu sejak awal. Biarlah aku sibuk dengan tugas-tugas kuliahku, kerjaan organisasiku, hobiku, pekerjaan rumahku dan kesibukan lainnya. Tapi apa boleh buat, takdirlah yang mengantarkan hati ini mendarat di bilah-bilah hatimu, meski kau tak tahu. Terkadang, dalam sudutku, aku bingung memilih doa yang mana, antara doa agar Tuhan tidak pernah memberi tahumu dan membiarkanku memendamnya sendiri, atau berdoa agar Tuhan menyampaikannya melalui orang lain kepadamu. Tapi aku takut. Apa yang harus kutakutkan? Entahlah.

Terkadang aku ingin mengajakmu makan siang bersama, agar aku tahu malaikat itu makannya apa. Tapi aku tak kuasa menyampaikannya. Atau boleh jadi karena adanya samudra di antara kita hingga suara hatiku tak kau dengar juga. Baiklah, tidak mengapa. Aku hanya percaya bahwa cinta tidak bertepuk sebelah tangan, pasti ada tangan lain yang akan menyambutnya. Boleh jadi  dirimu atau orang lain. Meski relung hatiku memohon semoga tangan itu adalah milikmu. Inilah inginku, akankah ia juga inginmu? Entahlah.

Joke: Sopirkulah yang Paling Bodoh

Terkisah dua orang pengusaha beken sedang bercakap-cakap di sebuah restoran. Bertanya kabar, keluarga, bisnis, dan apapun yang bisa mereka bicarakan. Hingga tiba pada sebuah percakapan.

Pengusaha 1: Aku mempunya sopir yang lelet.

Pengusaha 2 : Ah, sopirku pasti lebih parah. Aku tidak bisa  mengatainya lemah mental, sebab ia setia.

Pengusaha 1: Kalau begitu kita buktikan, ya. Sopir mana yang lebih bodoh. Pir, sini bentar.

Sopir 1  : Iya Tuan, ada apa?

Pengusaha 1 : Nih, belikan saya 1 unit mobil Avanza. (sembari menyerahkan 3 lembar uang 2 ribuan)

Sopir 1 : Baik, Tuan. Saya berangkat sekarang.

Kedua pengusaha itu lalu tertawa.

Pengusaha 2 : Itu belum seberapa. Nih aku panggil sopirku. Pir, sini cepetan!

Sopir 2  : Iya, ada apa Tuan?

Pengusaha 2 : Tolong balik ke rumah dan liat apa saya masih di sana atau sudah pergi.

Sopir 2 : Baik, Tuan. Saya berangkat sekarang.

Di parkiran, kedua sopir ini saling bertemu. Kemudian mereka saling mengeluhkan kekonyolan majikan mereka masing-masing.

Sopir 1 : Tau ngga, majikan gue goblok banget. Masa gue disuruh beli mobil pake uang 2 rebuan, seharusnya kan dia tau hari ini libur, toko-toko mobil pada tutup lah.

Sopir 2 : itu mah mending, majikan gw lebih parah. Masa gue disuruh balik cuma buat ngeliat dia ada di rumah apa ngga. Padahal kan dia punya telpon, kenapa g ditelpon aja.

Krik…krik…krik…

Teladan Kepemimpinan: Muhammad SAW dan Seorang Pemuda Nasrani

         Gambar

         sumber foto: yahadramaut.wordpress.com

 

           Wahai Junjungan Alam, setelah empat belas abad yang lalu engkau tinggalkan dunia yang fana ini, manusia masih saja menjejaki bait-bait perjalanan hidupmu. Ingatkah engkau, suatu ketika, seorang pemuda nasrani mendatangimu lalu berkata, “wahai Muhammad, aku berniat memeluk agamamu. Akan kuakui Tuhanmu adalah Tuhanku dan engkau adalah utusanNya.” Hatimu berbunga sembari meretas senyum.

           Pemuda itu melanjuti, “tapi wahai Muhammad, aku belum dapat meninggalkan kebiasaan burukku. Aku masih kecanduan arak, menggilai zina, dan masih memelihara tabiat kaumku yakni pendendam dan ringan tangan untuk membunuh. Akankah engkau tetap izinkan aku menjadi umatmu?” Pemuda itu was-was menunnggu lidahmu mengulur kata.

           Wahai Pemilik hati dan lidah yang selalu terjaga, sungguh jawabanmu merupakan jawaban terindah yang pernah kudengar. Kau tak melarang pemuda itu untuk merangkul agama mulia ini meskipun bingkai agama ini masih enggan ia kenakan. Mengecilkan harapannya pun tidak. Kami seakan mendengar ketika engkau membisiki pemuda itu agar ia menuruti satu syarat. Ya, hanya satu syarat, JUJUR. “hanya itu wahai Muhammad?” tanya si pemuda tak menyangka. Kembali kau mengangguk dengan secarik senyum.

                Tapi tahukah engkau wahai Insan Yang halus budinya, syarat itu telah menjadi segelas air di Padang Sahara. Sederhana tapi mengena. Secuil tapi tidak kecil. Tenang tapi selalu menjadi bumerang bagi si pemuda untuk melakukan tindak jahiliyah yang tak dapat ia buang. Kami mengerti mengapa itu terjadi.

               Tentu engkau jauh pikir wahai baginda Rasul. Suatu saat ketika engkau menjumpai pemuda tersebut, engkau akan dengan mudah menanyakan apakah ia masih mabuk-mabukan? Andai saja kejujurannya berkata “iya”, engkau akan menyiapkan algojo untuk menyambuknya. Ketika engkau bertanya apakah ia masih berzina? Jika syaratmu itu memaksa lidahnya mengaku “iya”, maka engkau akan manggali tanah untuk merajami pemuda itu.

             Benar nian keputusanmu, jujur telah menjerat hatinya dan membelenggu nafsunya untuk tidak melakukan kemaksiatan. Ia gentar menemuimu andai ia masih berlaku seperti dulu, sedang ilmu agama harus ia tuntut darimu. Maka, perlahan ia tinggalkan kebiasaan itu. Apakah engkau menyuruhnya melakukan itu? Tidak wahai teladan kami. Engkau hanya menyaratinya dengan JUJUR.

              Boleh jadi, seandainya engkau melarang pemuda itu mengambil jalan keselamatan bersamamu dan para sahabat hingga ia meninggalkan kebiasaan buruknya, pemuda itu tidak akan pernah kembali lagi untuk memintamu mensyahadatinya.

                Wahai sebaik-baik pemimpin, bersama rindu kami yang mendalam kepadamu, sebuah harapan kami selipkan pula atas kerinduan kami pada pemimpin yang cerdas sepertimu, yang bertutur indah layaknya lidahmu, berbudi santun umpama hatimu, dan berperangai mulia hingga kami digiringnya mengikutimu menuju Firdaus. Amin ya Rabb.

Indonesiaku, Terima Kasihku

indonesia yang kubanggakan

sumber foto : www.fotocommunity.com

Sahabatku yang kucinta. Suatu saat, saya pernah bercakap-cakap dengan kakak kelas saya yang telah menyelesaikan studinya di Rusia. Kala itu saya banyak tanya mengenai negeri Tirai Besi tersebut. Setelah berbicara mulai dari ekonominya, teknologi, sistem pemerintah, sejarah, dan sebagainya, akhirnya senior saya ini berbisik pelan. “Kamu juga harus tahu wandra, orang-orang di sana cuek-cuek.” Saya hanya menunggu. Lanjutnya, “semakin dingin wilayahnya, semakin cueklah mereka.” Saya mulai mengintrogasi, “kok bisa?”. “Bukan cuma di Rusia, Wan. Di negara-negara Eropa juga begitu. Mereka tidak terlalu ramah dengan sesama terlebih turis asing. Juga memiliki kecenderungan yang hampir sama, semakin dingin suhu rata-ratanya, penduduknya kian menutup diri dan hanya mengurusi hal-hal yang penting saja.” Selidik saya, “kalau begitu, lebih nyaman di Indonesia dong, Kak?” Ia hanya menyungging senyum, “boleh jadi, boleh jadi.” Tutur lidahnya.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan seseorang sepulangnya dari Jepang dengan membawa gelar sarjananya. Ketika saya bertanya apakah dia lebih memilih hidup di Indonesia atau di Jepang, nyatanya dia memilih negeri pertiwi ini. “Mungkin saya cuma merindui teman-teman saya di sana, sama tempat-tempat wisatanya,” lirihnya. “Tapi kalau disuruh memilih lebih enak mana hidup di Indonesia atau di Jepang, jawabannya Indonesia.” Tidak cukup puas dengan pendapat kedua orang itu, guru saya yang pernah belajar di Perancis turut saya tanyai. Katanya, “ah, kalau bukan tuntutan belajar sih, mending di Indonesia saja.” Komentar yang singkat. Saya penasaran, “Alasannya?”. “Susah punya banyak teman di sana. Kalau ditanya, jawab seadanya. Bahkan di tingkat instansi pemerintah, kalau urusan kita nggak penting-penting amat, kita bisa dicuekin.” Boleh jadi tanggapan yang sama juga dirasakan oleh saudara-saudara kita yang sedang atau pernah menyicipi asam-garam negara yang lain.

Analisis sederhana saya, ada sebuah kecenderungan sifat penduduk suatu wilayah bergantung pada keadaan cuaca dan iklim di sana. Mengapa penduduk negara-negara eropa dan sejumlah negara yang beriklim dingin cenderung individualis dan tertutup? Mungkin karena suhu yang dingin membuat mereka harus berjalan atau bergerak lebih cepat agar suhu tubuh menghangat. Sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk bertegur sapa di jalan terlebih mengajaknya ngobrol berlama-lama. Keadaan ini juga yang membuat negara tersebut fokus mengurusi sesuatu yang dianggapnya penting sehingga terwujudlah keteraturan sistem dan kedisiplinan. Berbeda halnya dengan di Indonesia yang beriklim tropis. Bawaannya nyaman dan adem. Ketika ada yang bertanya A, kita bahkan sudi menjelaskan hingga Z. Jika di Negara dingin penduduknya enggan berada di tempat terbuka, maka penduduk indonesia malah sebaliknya. Semakin sering seseorang berada di alam terbuka dan menemui beragam manusia, semakin ramah dan terbuka pula dia. Akan tetapi, keadaan ini membuat penduduk Indonesia malas berurusan dengan sistem yang rumit hingga terbangunlah rasa toleransi yang tinggi. Seorang Bos akan dengan mudah memaafkan karyawannya yang terlambat hanya dengan alasan anaknya menangis saat ditinggalkan. Atau seorang dosen akan memaklumi ketika mendapati mahasiswanya terlambat karena semalam dia tidur kemalaman dan bangun kesiangan. Semudah itu? Iya, semudah itu maaf diberikan. Apakah hal serupa akan kita temui di Negara-negara dengan sistem disiplin yang tinggi tadi? Maaf kawan, bos dan dosen itu bisa katakan “ini bukan Indonesia”.

Sahabatku, jika engkau meyakini bahwa Allah itu Maha Adil, maka fenomena ini merupakan salah satunya. Boleh saja engkau menjelekkan Indonesia, bangsamu sendiri, tapi ketahuilah orang-orang di luar sana merindui bangsa seperti kita. Ingatkah kita pada tanggal 30 September 2013, sebuah surat kabar menuliskan Headline komentar miss world terpilih yang berasal dari Philipina yang mengakui secara terbuka bahwa Indonesia merupakan penduduk paling ramah di dunia. tidak terlalu jauh dari komentar miss world tersebut, Pak SBY, presiden kita, mendapat anugrah sebagai kepala sebuah Negara dengan tingkat toleransi paling tinggi di dunia. Bahkan, nenek moyang kita pun telah menggelari negeri ini dengan sebutan “gemah ripah loh jinawi”. Apakah kemudian kita tidak boleh mencemburui Negara lainnya? Tentu saja boleh. Namun, yang lebih berharga adalah kita mampu mensyukuri dan menghargai serta mencintai tanah tumpah darah kita ini, apa pun adanya.

Jangan pernah beranggapan bahwa Negara-negara maju itu sudah tidak memiliki masalah, boleh jadi masalah mereka lebih besar dari yang Allah berikan kepada Indonesia. Kita berhak saja kecewa atau membenci negeri ini karena kemacetan, banjir, polusi, penduduk miskin, kesehatan buruk, pendidikan tertinggal, atau wakil rakyat yang korupsi. Namun perlu sama-sama kita sadari bahwa di belahan bumi yang lain masalah yang dihadapi lebih beragam. Tidak ada satu bangsa pun yang tidak memiliki masalah, hanya saja ia dihadirkan dalam bentuk yang berbeda. Toh dengan berbagai masalah yang dihadapi Indonesia tidak membuat rakyatnya menjadi individualis layaknya di China, tidak pula egois seperti di Perancis, tidak juga mudah stress yang dialami penduduk Inggris, jauh dari penyakit obesitas yang kerap melanda Negara-neraga berpola makan cepat saji, dan jarang kita temui kasus bunuh diri mana yang di Amerika hal serupa telah menjadi biasa. Di sini, di negeri ini, kita masih dapat tersenyum saat pagi menyingsing, masih mudah menyapa meski banyak kerja, masih senang gembira ketika Senin tiba. Ringan tangan dalam membantu, berhati lapang kala berjibaku, hingga semuanya menjadi seru. Bukankah nikmat terindah itu ketika kita masih dapat mencintai dan dicintai oleh orang-orang yang ada di sisi? Terima kasih Tuhan, engkau telah anugerahkan Indonesia untukku, dialah tanah lahir, kecil besarku, makan laparku, haus dahagaku, tawa perihku, cinta getirku, napas matiku, dan hanya kepadaMu oh Tuhan segala syukur kualamatkan.

Seagung niat

Di dalam Islam, niat orang yang beriman lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada tindakannya. Namun sebaliknya, tindakannya orang yang munafik jauh lebih hina di sisi Allah dari pada niatnya. tulisan ini akan mengupas sedikit makna yang dikandungnya. 

Kita awali dengan sebuah kisah. Sebut saja namanya Ahmad, seorang mahasiswa rantau yang hidup dalam kesederhanaan. Suatu Jumat, ia sedang duduk di dalam masjid menunggu khatib menaiki mimbar. Kemudian terlintaslah di depannya kotak amal. Di dalam dompetnya terdapat lembaran 100rb, 50rb, 20rb, 10rb, 5rb dan 2rb. jadi total uang yang dimiliki Ahmad adalah 187rb. Jika Anda selaku Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan untuk dimasukkan ke dalam kotak amal tersebut? 

Hati Ahmad mulai berbisik, Ya Allah, hamba ingin sekali bersedekah sebanyak mungkin sebagai wujud syukur hamba atas rezekimu. Mengeluarkan lembar 100rb, lalu hamba masukkan ke dalam kotak amal ini. Tapi ya Allah, uang di dompet hamba ini adalah nominal yang akan menghidupi hamba selama 2 minggu ke depan. Hamba tidak memiliki uang lebih dari ini ya Allah. Maka, izinkan hamba untuk kali ini menarik lembar 5rb untuk hamba sedekahkan. Semoga tidak mengurangi keberkahan rezeki dariMu. Lalu Ahmad menyedekahkan lembar 5rb. Jika Anda sebagai Ahmad, lembar mana yang akan Anda keluarkan? 

Jika kita mengacu pada konteks niat, maka niatnya Ahmad(dalam hal ini kita menganggapnya sebagai orang yang beriman) itu lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dari pada nilai sedekahnya. Bukan karena yang ia keluarkan lembar 5rb, bukan sama sekali. Tetapi karena niatnyalah yang lengantarkan bilah-bilah keridhaan. Niat Ahmad bersedekah 100rb, tetapi apa daya, kemampuan dia ketika itu belum memadai, lalu ia keluarkan 5rb, maka sungguh niatnya itu lebih mahal dari sedekah 100rb. 

Kasus sebaliknya, sebut saja namanya Bonar, seorang mahasiswa yang juga sebenarnya berasal dari daerah. Suatu hari ia pergi berkuliah. Sesampainya di kampus, dia bertemu dengan seorang mahasiswi yang selama ini ia kagumi. Mahasiswi ini menegurnya dan bonar pun salah tingkah. “Bonar mau kemana?” tanya akhwat ini. Karena Bonar ingin juga terlihat sholeh, beriman lagi baik hati, maka ia menjawab, “mau ke mushola, belum dhuha soalnya.” Tentu jawaban itu akan merenyuhkan hati siapapun, nenek-nenek juga akan kesemsem. Tapi apakah niat Bonar tulus karena Allah, tidak, ia menjawab itu semata-mata agar terlihat mulia bagi si akhwat. Nah, seandainya Bonar benar-benar ke mushola dan melakukan shalat dhuha, maka sholatnya itu lebih rendah derajatnya di sisi Allah dari pada niatnya. 

Wahai sahabatku yang dicintai Allah dan dirindui Rasulullah(aamiiin), perbaikilah niat sebelum engkau berangkat. Luruskan harapan sebelum engkau melangkah ke depan. Sebab, keagungan niat akan mengantarkan kita pada derajat yang lebih tinggi, sedangkan tercelanya niat akan menjatuhkan kita dalam kehinaan dan kenistaan. Di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” 

Amalah yang selama ini kita lakukan, akan menjadi buih yang hilang dihempas riak gelombang. Banyak memang, hingga peluh-peluh kita menetes dalam sujud kepada-Nya, tapi akan tak bernilai jika niat itu tidak tulus karena Allah. Terakhir, suatu ketika seorang pemuda menghadap Buya Hamka. Dengan menggebu-gebu pemuda ini berkata, “Wahai Buya, aku sungguh terkejut ketika aku berangkat ke Mekah. Ternyata, di sana itu ada juga tempat-tempat maksiat seperti perjudian, pelacuran dan klub-klub malam.” Pemuda ini belum selesai, “kenapa bisa begitu wahai Buya? Bagaimana mungkin di tanah kelahiran Kanjeng Rasul terdapat tempat-tempat semacam itu.” Lalu Buya Hamka angkat biacara, “Ah, yang benar saja? Saya baru saja pulang dari Los Angeles, tapi saya tidak menemukan tempat-tempat semacam itu?” “Ha? masa di Mekah ada tapi di Los Angeles tidak? Buya yang benar saja.” sambil tersenyum, Buya Hamka menjawab, “Anak muda, kita akan mendapatkan apa yang kita cari.”